Anak adalah mutiara ayah bundanya. Ia tumbuh dengan buaian kasih ayah bundanya, hingga suatu saat nanti tiba waktunya dia mengarungi kehidupan ini. Sang ayah akan membiarkannya terlepas dari tatihan dan berjalan di atas gemerlapnya dunia ini dengan bekal yang telah ia tanamkan.
Seorang anak akan menjadi harta simpanan bagi kedua orangtua yang pahalanya akan terus mengalir meski jiwa ini telah terpisah dari raganya. Lalu bagaimanakah seorang anak itu bisa menjadi simpanan berharga? Itulah tugas dan kewajiban kita sebagai orang tua, yaitu mendidik dan membimbingnya.
Hal terpenting yang harus ditunaikan oleh orang tua adalah pendidikan bagi anak-anaknya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya menjelaskan bahwa tarbiyah (pendidikan anak) yang dimaksud adalah menanamkan nilai-nilai agama dan akhlaq dalam diri anak sehingga agama dan akhlaq itu menjadi sesuatu yang mendominasi dalam diri mereka (Huquq Da’at Ilaihal Fithrah wa Qarraratha Asy Syar’iyah).
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً وقودها النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عليها مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَّ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
‘Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..” (QS. At-Tahrim : 6).
Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’alaa memerintahkan kepada hambaNya yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka dengan menjalankan aturan-aturanNya baik yang berupa perintah yaitu dengan menegakkannya maupun yang berupa larangan, yaitu dengan menjauhinya. Termasuk penjagaan terhadap keluarga dan anak-anak adalah dengan mendidik dan mengajari mereka. Seorang hamba tidak akan selamat kecuali dia menegakkan perintah Allah bagi dirinya, istri, anak-anak dan siapa saja yang berada di bawah perwaliannya (Taisiru Karimir Rahman).
Bukankah setiap orang ingin selalu bersama orang yang dicintainya? Namun kebersamaan di dunia ini hanyalah sebentar dan hanya untuk sementara saja. Keinginan yang agung adalah ketika kita mendambakan kebersamaan di alam keabadian kelak. Dunia ini adalah untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan di akherat nanti.
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (Q.S Ath-Thur :21)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
‘Bahwasanya manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya’ (Q.S An-Najm: 39)
Ayat Al-Qur’an dalam surat An-Najm tersebut menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu hanya akan memperoleh hasil sesuai dengan hasil usahanya sendiri. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini bukan berarti dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain dengan sesuatu yang dihadiahkan kepadanya, yang nanti akan menjadi miliknya. (Taisirul Karimir Rahman).
Ketika jiwa ini tak lagi bersama raganya, maka akan terputuslah semua amalan, tidak akan bermanfaat harta benda dan keluarganya, kecuali tiga perkara yang disebutkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara:sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Anak yang shalih adalah hasil usaha keras orang tuanya dalam memelihara dan mendidiknya. Islam memerintahkan orang tua agar memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anak mereka agar kelak anak-anak tersebut menjadi anak yang shalih sehingga menjadi sebab mengalirnya pahala meski telah meninggal dunia.
Karena hal itu adalah termasuk sesuatu yang diusahakannya sewaktu hidup di dunia, jadikanlah anak-anak itu sebagai sebaik-baik simpanan untuk hari nanti. Maka apakah kita akan rela jika semua pahala dan balasan agung tersebut diambil oleh guru-guru di sekolah atau ustadzah-ustadzah TPA? Sungguh teramat sayang, jika semua itu terlepas dari genggaman kita.
Namun perlu diingat wahai ayah dan bunda. Anak adalah nikmat sekaligus ujian dari Allah ta’ala bagi kedua orang tuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Anak adalah salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah ta’ālā kepada hamba-Nya. Berapa banyak orang yang telah lama menanti buah hati dalam rumahnya, namun Allah ta’ālā belum memberikannya.
Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita mensyukuri nikmat yang besar ini. Dengan apa? Dengan mendidiknya dengan sungguh-sungguh, tentunya. Karena anak yang shalih akan menjadi penghias mata dan penghibur hati kedua orangtuanya.
Allah Ta’ālā berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,” (QS. Al-Kahfi: 46).
Dan Allah Ta’ālā juga mengatakan,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-Taghabun: 15).
Di samping sebuah nikmat, anak merupakan ujian bagi kedua orang tuanya. Anak bisa menjadi sebab orang tuanya berbuat dzalim karena memenuhi keinginan anak. Bisa juga karena bangga dengan anaknya seseorang menjadi sombong dan angkuh.
Oleh karena itu, hendaklah kita ketahui bahwa anak kita adalah amanah yang harus dijaga dan anak hanyalah titipan yang kelak akan kembali jua kepada pemiliknya.
Semoga Allah azza wa jalla senantiasa memberikan kemudahan kepada kita dalam mendidik anak-anak kita. Aamiin. Wallahu a’lam bis shawab
Penulis: Ummu Fawwaz Rinautami Ardi Putri
Referensi :
- Huquuq Da’at Ilaiha al Fitrahwa Qarrarat-ha asy-Syari’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
- Nashiihatii Linnisaa’i, Ummu ‘Abdillah bintu Syaikh Muqbiil bin Hadi al Waadi’ii
- Nidaa’u ilaal Murabbiyiina wal Murabbiyaat litaujiihil Baniin wal Banaat, Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainuu.
- Taisiirul Kariimir Rahmaani fii Tafsiiri Kalaami Manaani, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nasir as-Sa’diy.